Susahnya Mencari Kerja
Diasuh oleh:
Dr. Erma Pawitasari, M.Ed
Doktor Pendidikan Islam PKU DDII bekerjasama dengan BAZNAS
Pertanyaan malalui e-mail: redaksi@suara-islam.com
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ibu yang kami hormati,
Saya alumni Fakultas Komunikasi-Jurnalistik Unpad lulusan tahun 2011
(Juni). Saya sudah berikhtiar mencari pekerjaan ke mana-mana tetapi sampai saat
ini setiap tes yang saya lalui diakhiri dengan kegagalan, baik itu di tahap
psikotes atau wawancara. Saya sampai bingung dan kehilangan muka dengan label
S.Kom yang saya miliki. Saya harus bagaimana lagi, sedangkan semakin hari umur
saya semakin bertambah. Terkadang saya lelah sendiri dan bingung selalu gagal
terus.
Mohon bantuan solusi/cara jitu seperti apa yang harus saya lakukan
supaya bisa mendapatkan pekerjaan. Terima kasih sebelumnya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ramli – via www.facebook.com/epawitasari
Wa’alaikum salam Warahmatullahi Wabarakatuh
Saya turut prihatin dengan ujian yang Nanda alami. Problem ini memang
riil dan dialami oleh banyak lulusan sarjana. Saya tidak mau menyarankan agar
Nanda sekedar bersabar dan pantang menyerah, sebab saya yakin Nanda sudah
melakukannya. Sebagai pendidik, saya ingin Nanda mengetahui akar
permasalahannya terlebih dahulu, supaya solusi yang saya tawarkan lebih masuk
akal.
Munculnya pengangguran dipicu oleh beberapa faktor:
1. Kebutuhan tenaga kerja tidak sinkron dengan lulusan sekolah.
Contoh: Kita masih kekurangan insinyur untuk mengelola sampah, namun sekolah
lebih banyak menghasilkan sarjana IT.
2. Kemampuan lulusan yang rendah. Contoh:
Perusahaan-perusahaan besar memerlukan tenaga kerja IT yang fasih berbahasa
asing dan memiliki kreativitas tinggi, namun sarjana IT yang tersedia kurang
memenuhi syarat sehingga perusahaan terpaksa menggaji tenaga asing.
3. Gengsi. Banyak sarjana yang gengsi untuk memulai
pekerjaan dari bawah. Contoh: seorang sarjana IT yang ditolak bekerja pada
suatu perusahaan besar enggan untuk melamar menjadi OB di perusahaan tersebut.
Alasannya satu: gengsi. Padahal, dengan menjadi OB, ia dapat menunjukkan
kepribadiannya yang unggul sambil mencari kesempatan menunjukkan kemampuannya
dalam bidang IT. Bila ada karyawan yang mengalami gangguan pada komputer, sang
OB dapat segera turun tangan dan unjuk gigi. Kesempatan harus direbut, bukan
hanya ditunggu.
4. Tidak berani berwirausaha. Lulusan sarjana hanya
mengharapkan bekerja di kantor, dengan gaji yang terjamin setiap bulan. Padahal
ia memiliki kemampuan untuk menjual produk. Seorang sarjana IT misalnya, dapat
membuat program-program untuk dijual online. Ia juga dapat meneliti instansi
mana yang sistem komputerisasinya masih kurang efisien, kemudian menawarkan
program yang lebih canggih. Saat proyek sudah di tangan, ia dapat mencari investor
untuk mewujudkan program rancangannya tersebut.
5. Enggan mencoba pekerjaan lain. Tidak dapat dipungkiri,
kita memiliki banyak sarjana yang tersesat. Artinya, mereka dulu memilih suatu
program studi disebabkan oleh tren, pilihan orang tua, atau bahkan asal pilih
(daripada tidak kuliah). Akhirnya, mereka tidak dapat menguasai bidang
kuliahnya dengan baik (asal lulus). Padahal, mereka mungkin dapat bekerja lebih
baik di bidang lain yang sesuai dengan minat dan kemampuannya.
6. Negara tidak diatur dengan sistem Islam. Pembahasan ini
terlalu panjang untuk saya uraikan di sini secara lengkap. Peran negara antara
lain: mengelola lahan kosong, termasuk “mengambil” lahan-lahan terbengkalai
milik para tuan tanah yang dianggurkan lebih dari 3 tahun (sekedar ditimbun
menunggu naiknya harga tanah), mengelola zakat untuk membuka lapangan pekerjaan
yang bermanfaat ataupun sebagai pinjaman/suntikan modal, dan mendistribusikan
kekayaan secara adil sehingga kekayaan tidak terpusat di kota-kota besar.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa ketiadaan lapangan pekerjaan
bukanlah faktor penyebab pengangguran. Lapangan pekerjaan pasti selalu ada.
Lapangan pekerjaan menjadi seolah-olah sempit akibat negara salah kelola dan
masyarakat salah fokus. Lapangan pekerjaan diartikan secara sempit, yakni
pekerjaan di kantor atau pabrik. Negara harus mengubah kebijakannya yang
berorientasi industri ke orientasi hidup seimbang. Lembaga pendidikan harus
berhenti memproduksi/menjadi pabrik ijazah dan beralih menjadi lembaga pendidik
manusia yang mampu berpikir bagaimana memberikan manfaat seluas-luasnya kepada
manusia lain dan alam semesta. Rasulullah Muhammad Saw bersabda, “Sebaik-baik
manusia adalah yang paling bermanfaat bagi yang lain.”
Nasehat Rasul di atas sekaligus menjawab permasalahan Nanda Ramli,
yakni untuk menjadi pribadi yang bermanfaat. Dengan mindset demikian, Nanda
memiliki beberapa pilihan:
•
Meningkatkan
kemampuan di bidang IT agar memiliki keistimewaan yang dicari perusahaan.
•
Mencoba
berwirausaha di bidang IT.
•
Mencoba
bekerja di bidang lain.
•
Membuang
gengsi sebagai sarjana dan siap merangkak dari bawah, baik itu menjadi OB, bertani, sopir, dsb, sambil mencari peluang untuk menunjukkan
kemampuan dan kepribadian yang cemerlang.
Pada akhirnya, saya berpesan: Jangan menganggur! Ingatlah firman Allah
Swt: “Dialah Dzat yang telah menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah
di segala penjurunya dan makanlah sebagian rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nya lah
kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. AI-Mulk/67:15)
”Sesungguhnya di antara dosa-dosa itu, ada yang tidak dapat terhapus
dengan puasa dan shalat.” Para sahabat bertanya: “Apakah yang dapat
menghapusnya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: ”Bersusah payah dalam mencari
nafkah.” (HR. Bukhari)