Sabtu, 20 September 2014

Susahnya Mencari Kerja

Susahnya Mencari Kerja

Diasuh oleh:
Dr. Erma Pawitasari, M.Ed
Doktor Pendidikan Islam PKU DDII bekerjasama dengan BAZNAS
Pertanyaan malalui e-mail: redaksi@suara-islam.com

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ibu yang kami hormati,

Saya alumni Fakultas Komunikasi-Jurnalistik Unpad lulusan tahun 2011 (Juni). Saya sudah berikhtiar mencari pekerjaan ke mana-mana tetapi sampai saat ini setiap tes yang saya lalui diakhiri dengan kegagalan, baik itu di tahap psikotes atau wawancara. Saya sampai bingung dan kehilangan muka dengan label S.Kom yang saya miliki. Saya harus bagaimana lagi, sedangkan semakin hari umur saya semakin bertambah. Terkadang saya lelah sendiri dan bingung selalu gagal terus.

Mohon bantuan solusi/cara jitu seperti apa yang harus saya lakukan supaya bisa mendapatkan pekerjaan. Terima kasih sebelumnya.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ramli – via www.facebook.com/epawitasari

Wa’alaikum salam Warahmatullahi Wabarakatuh

Saya turut prihatin dengan ujian yang Nanda alami. Problem ini memang riil dan dialami oleh banyak lulusan sarjana. Saya tidak mau menyarankan agar Nanda sekedar bersabar dan pantang menyerah, sebab saya yakin Nanda sudah melakukannya. Sebagai pendidik, saya ingin Nanda mengetahui akar permasalahannya terlebih dahulu, supaya solusi yang saya tawarkan lebih masuk akal.

Munculnya pengangguran dipicu oleh beberapa faktor:

1. Kebutuhan tenaga kerja tidak sinkron dengan lulusan sekolah. Contoh: Kita masih kekurangan insinyur untuk mengelola sampah, namun sekolah lebih banyak menghasilkan sarjana IT.

2. Kemampuan lulusan yang rendah. Contoh: Perusahaan-perusahaan besar memerlukan tenaga kerja IT yang fasih berbahasa asing dan memiliki kreativitas tinggi, namun sarjana IT yang tersedia kurang memenuhi syarat sehingga perusahaan terpaksa menggaji tenaga asing.

3. Gengsi. Banyak sarjana yang gengsi untuk memulai pekerjaan dari bawah. Contoh: seorang sarjana IT yang ditolak bekerja pada suatu perusahaan besar enggan untuk melamar menjadi OB di perusahaan tersebut. Alasannya satu: gengsi. Padahal, dengan menjadi OB, ia dapat menunjukkan kepribadiannya yang unggul sambil mencari kesempatan menunjukkan kemampuannya dalam bidang IT. Bila ada karyawan yang mengalami gangguan pada komputer, sang OB dapat segera turun tangan dan unjuk gigi. Kesempatan harus direbut, bukan hanya ditunggu.

4. Tidak berani berwirausaha. Lulusan sarjana hanya mengharapkan bekerja di kantor, dengan gaji yang terjamin setiap bulan. Padahal ia memiliki kemampuan untuk menjual produk. Seorang sarjana IT misalnya, dapat membuat program-program untuk dijual online. Ia juga dapat meneliti instansi mana yang sistem komputerisasinya masih kurang efisien, kemudian menawarkan program yang lebih canggih. Saat proyek sudah di tangan, ia dapat mencari investor untuk mewujudkan program rancangannya tersebut.

5. Enggan mencoba pekerjaan lain. Tidak dapat dipungkiri, kita memiliki banyak sarjana yang tersesat. Artinya, mereka dulu memilih suatu program studi disebabkan oleh tren, pilihan orang tua, atau bahkan asal pilih (daripada tidak kuliah). Akhirnya, mereka tidak dapat menguasai bidang kuliahnya dengan baik (asal lulus). Padahal, mereka mungkin dapat bekerja lebih baik di bidang lain yang sesuai dengan minat dan kemampuannya.

6. Negara tidak diatur dengan sistem Islam. Pembahasan ini terlalu panjang untuk saya uraikan di sini secara lengkap. Peran negara antara lain: mengelola lahan kosong, termasuk “mengambil” lahan-lahan terbengkalai milik para tuan tanah yang dianggurkan lebih dari 3 tahun (sekedar ditimbun menunggu naiknya harga tanah), mengelola zakat untuk membuka lapangan pekerjaan yang bermanfaat ataupun sebagai pinjaman/suntikan modal, dan mendistribusikan kekayaan secara adil sehingga kekayaan tidak terpusat di kota-kota besar.

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa ketiadaan lapangan pekerjaan bukanlah faktor penyebab pengangguran. Lapangan pekerjaan pasti selalu ada. Lapangan pekerjaan menjadi seolah-olah sempit akibat negara salah kelola dan masyarakat salah fokus. Lapangan pekerjaan diartikan secara sempit, yakni pekerjaan di kantor atau pabrik. Negara harus mengubah kebijakannya yang berorientasi industri ke orientasi hidup seimbang. Lembaga pendidikan harus berhenti memproduksi/menjadi pabrik ijazah dan beralih menjadi lembaga pendidik manusia yang mampu berpikir bagaimana memberikan manfaat seluas-luasnya kepada manusia lain dan alam semesta. Rasulullah Muhammad Saw bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi yang lain.”

Nasehat Rasul di atas sekaligus menjawab permasalahan Nanda Ramli, yakni untuk menjadi pribadi yang bermanfaat. Dengan mindset demikian, Nanda memiliki beberapa pilihan:

        Meningkatkan kemampuan di bidang IT agar memiliki keistimewaan yang dicari perusahaan.

        Mencoba berwirausaha di bidang IT.

        Mencoba bekerja di bidang lain.

        Membuang gengsi sebagai sarjana dan siap merangkak dari bawah, baik itu menjadi OB, bertani, sopir, dsb, sambil mencari peluang untuk menunjukkan kemampuan dan kepribadian yang cemerlang.

Pada akhirnya, saya berpesan: Jangan menganggur! Ingatlah firman Allah Swt: “Dialah Dzat yang telah menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nya lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. AI-Mulk/67:15)


”Sesungguhnya di antara dosa-dosa itu, ada yang tidak dapat terhapus dengan puasa dan shalat.” Para sahabat bertanya: “Apakah yang dapat menghapusnya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: ”Bersusah payah dalam mencari nafkah.” (HR. Bukhari)